Jumat, 23 Maret 2012

makalah Civic Education

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Otonomi daerah merupakan kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jadi, apabila suatu daerah tidak memiliki kemandirian maka daerah tersebut belum dikatakan daerah yang sempurna.
Dalam pembuatan makalah ini, bertujuan agar pembaca dapat mengerti atau memahami pentingnya pelaksanaan otonomi daerah. Serta dapat menganalisis hubungan otonomi daerah dengan demokratisasi.
B. Pokok Masalah
1. Mengapa otonomi daerah perlu diketahui/dipelajari?
2. Apa yang menjadi visi-visi otonomi daerah?
3. Sipa yang mengungkapkan bentuk desentralisasi?
4. Bagaimana otonomi daerah dapat berjalan dengan lancar?
5. Dimana saja terdapat prinsip-prinsip otonomi daerah?
C. Metode Pembahasan
1. Menjelaskan pengertian otonomi daerah.
2. Mengungkapkan beberapa pendapat tentang otonomi daerah.
3. Menceritakan sejarah otonomi daerah.
4. Memberikan penjelasan mengenai hubungan antar otonomi daerah dan demokratisasi.
BAB II
PEMBAHASAN
OTONOMI DAERAH
1. Arti Otonomi Daerah
Berbagai definisi tentang desentralisasi dan otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan pengertian yang mendasar tentang pelaksanaan otonomi daerah sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri.
Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Jadi, otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut maka daerah apat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar.
Desentralisasi didefinisikan United Nations (PBB) hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah. Proses itu melalui dua cara yaitu dengan delegasi kepada pejabat-pejabat di daerah (deconcentration) atau dengan devolution kepada badan-badan otonomi daerah.
1) M. Turner dan D. Hulne (dalam Teguh Yuwono, ed., 2001,h.27)
Berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang mendasari transfer ialah teritorial dan fungsional.
Teritorial adalah menempatkan kewenangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah hirarkis yang secara geografis lebih dekat pada penyedia layanan dan yang dilayani. Fungsional adalah transfer kewenangan kepada agen yang fungsional terspesialisasi. Transfer kewenangan secara fungsional ini memiliki tiga tipe: pertama, apabila pendelegasian kewenangan itu didalam struktur politik formal misalnya; dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Kedua, jika transfer itu sebuah kementrian kepada kantor kementrian yang ada didaerah. Ketiga, jika tansfer tersebut dari institusi negara kepada agen non negara,; misalnya penjualan aset pelayanan publik seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah perusahaan.
2) Rondinelli
Mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisasi nirlaba (Teguh Yuwono, ed.,2001,h.28).
3) Shahid Javid Burki dkk (dalam ebidem)
Menggunakan istilah desentralisasi untuk menunjukkan adanya proses perpindahan kekuasaan politik fiskal dan administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu yang terpenting adalah adanya pemerintah daerah yang terpilih melalui pemilihan lokal (elected sub-national goverment). Dan jika tidak, maka negara tersebut tidak dianggap sudah terdesentralisasikan. Ia menekankan pada pentingnya pemerintah daerah yang terpilih itu karena dua alasan. Pertama, alasan yang mungkin paling ambisius dan paling beresiko bahwa reformasi ketiga struktur (desentralisasi, dekonsentrasi, dan privatisasi) tersebut berlangsung di daerah. Kedua, implikasi behavioral yang unik dari desentralisasi.
Jadi, desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
2. Arti Penting Otonomi Daerah – Desentralisasi
Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan terhadap desentralisasi di Indonesia saat ini dirasakan sangat mendesak.
1) Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah lain di lalaikan.
2) Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata.
3) Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban dan bahkan terbengkalai.
Sementara lain ada alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi penyelenggaraan pemerintah daerah (desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang Gie sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001,h.8):
1. Dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam mempergunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat, pengurusannya diserahkan pada daerah.
4. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan supaya adanya perhatian sepenuhnya ditumpukan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung dapat membantu pembangunan tersebut.
Diantara beberapa argumen tersebut dalam memilih desentralisasi, otonomi yaitu :
1. Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi ekstraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
2. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara. Alexis de’ Tocqueville mencatat bahwa “town meetings are to leberty what primary schools are to science; the bring it within the people reach, they teach men how to use and how to enjoy it. John Stuart Mill dalam tulisannya “Represcentative Goverment” menyatakan bahwa pemerintahan daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Banyak kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama karir di bidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional.
4. Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Hal ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957 – 1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan.
5. Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbatgai komponen masyarakat akan terwujud.
6. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakt, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
3. Visi Otonomi Daerah
1) Politik
Karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentalisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang respontif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik.
2) Ekonomi
Otonomi daerah disatu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan. Ekonomi didaerah, dan dipihak lain terbukanya peluang bagi pemerintahan daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya.
3) Sosial dan budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut ini:
a) Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah.
b) Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan kepala Daerah
c) Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
d) Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah.
e) Peningkatan efisien administrasi keuangan darah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
f) Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintahan pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk block gran, peraturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
4. Model Desentralisasi
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) deconcentration, (2) delegation to semi-autonomous and parastatal agencies, (3) devolution to local goverments, and (4) nongeverment instituions (Teguh Yuwono,ed, 2001,h.29-34).
1) Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), menurut Rondinelli pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara departemen pusat dengan pejabat pusat dilapangan tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasan untuk membuat keputusan.
Rondinelli selanjutnya membedakan dua tipe dekonsentrasi yaitu :
a) Field administration (administrasi lapangan)
Pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan seperti merencanakan, membuat keputusan-keputusan rutin dan menyesuikan pelaksanaan kebijaksanaan pusat dengan kondisi setempat.
b) Local administrasion (administrasi lokal)
Terdiri dari dua tipe yaitu integrated local administration (administrasi lokal yang terpadu) dan unintegrated local administration (administrasi lokal yang tidak padu).
Dalam tipe integrated local administration, tenaga-tenaga dari departemen pusat yang ditempatkan didaerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi kepala daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Walaupun tenaga-tenaga tersebut diangkat, digaji, dipromosikan dan dimutasikan oleh pemerintah pusat, mereka tetap berkedudukan sebagai staf teknis dari kepala daerah dan bertanggung jawab kepadanya. Sedangkan tipe unintegrated local administration ialah tenaga-tenaga pemerintah pusat yang berada didaerah dan kepala daerah masing-masing berdiri sendiri.
Menurut Rondinelli, dekonsentrasi dapat ditempuh melalui dua cara yaitu, pertama; transfer kewajiban dan bantuan keuangan dari pemerintah pusat kepada provinsi, distrik dan unit administratif llokal. Kedua; melalui koordinasi unit-unit pada level sub-nasional atau pemerintah pusat dan daerah serta unit-unit tersebut.
Mengutip pendapat Smith, Turner dan Hulme bahwa pilihan dekonsentratis didasarkan ukuran-ukuran manajerial dan bukan politik, meskipun kenyataannya memiliki nuansa politik tinggi.
Hal ini didasarkan atas dua alasan; pertama, kepentingan politik mereka yang mengendalikan kekuasaan negara seringkali kewenangan kepada pejabat administrasi daripada kepentingan pemerintah daerah. Kedua, pejabat administrasi pada umumnya melakukan kewajiban politik untuk pemerintah pusat yang memelihara stabilitas politik, menghalangi kelompok-kelompok politik oposisi, menjamin bahwa keputusan daerah berwenang tidak bertentangan dengan kebijakan pusat dan memonitor langsung politik para staf dan lain-lain.
2) Delegasi
Delegation to semi autonomus sebagai bentuk kedua yang disebutkan oleh Rondinelli adalah pelimpahan keputusan dan kewenangan untuk melakukan tugas-tugas khusus suatu organisasi yang tidak secara langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat.
Delegasi menurut Litvack merujuk kepada sebuah situasi dimana pemerintah pusat mentrasfer tanggung jawab (responsibility) pengambilan keputusan dan fungsi administrasi publik kepada pemerintah daerah atau kepada organisasi semi otonomi yang sepenuhnya tidak dikendalikan oleh pemerintah pusat akan tetapi pada akhirnya tetapi pada akhirnya tetap bertanggung jawab (accountable) kepadanya. Bentuk desentralisasi semacam ini dapat dirincikan sebagai hubungan daerah prinsipelagen dimana pemerintah pusat sebagai prinsipal dan pemerintah daerah sebagai kebebasan pemerintah daerah yang memperoleh insentif dari pemerintah pusat dan cenderung dituntut untuk lebih memenuhi keinginan pemerintah pusat agar tidak sampai mengorbankan kepentingan daerah dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya.
3) Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Bentuk devolusi mempunyai lima karakteristik, diantaranya :
a) Unit pemerintahan lokal bersifat otonomi, mandiri dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat pemerintahan. Pemerintahan pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya.
b) Unit pemerintahan lokal diakui mempunayi batas-batas wilayah yang jelas dan legal, yang mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan
c) Unit pemerintahan daerah berstatus sebagia badan hukum dan berwenang untuk mengelola dan memanfaatkan sumber-dumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.
d) Unit pemerintahan daerah diakui oleh warganya sebagai suatu lembaga yang akan memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan meraka.
e) Terdapat hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Salah satu contoh devolusi paling ekstensif adalah Sudan dimana komisi propinsi dan DPRD propinsi mempunyai kewajiban hampir seluruh fungsi-fungsi publik kecuali keamanan nasional, pos komunikasi, urusan luar negeri , perbankan dan peradilan.
Menurut Mawhood sebagaiman dikutip oleh Turner dan Hulme ada lima ciri yang melekat pada devolusi yaitu :
a) Adanya sebuah badan lokal yang secara kenstitusional terpisah dari pemerintah pusat dan bertanggung jawab pada pelayanan lokal yang signifikan.
b) Pemerintahan daerah harus memiliki kekayaan sendiri, anggaran dan rekening seiring dengan otoritas untuk meningkatkan pendapatannya
c) Harus mengembangkan kompetensi staf
d) Anggota dewan yang terpilih yang beroperasi pada garis partai, harus menentukan kebijakan dan prosedur internal.
e) Pejabat pemerintah pusat harus melayani sebagian penasehat dan evaluator luar (expternal advisors dan evaluators) yang tidak memiliki peranan apapaun didalam otoritas lokal.
4) Privatisasi
Bentuk terakhir dari desentralisasi menurut Rondinelli adalah orivatisasi. Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakt, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan Pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN & BUMD dilebur menjadi PT.
Rondinelli menjelaskan melalui privatisasi pemerintahan menyerahkan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi nirlaba atau mengizinkan mereka membentuk perusahaan swasta. Dalam beberapa kasus, pemerintah menstransfer tanggung jawab tersebut kepada organisasi paralel seperti nasional, asosiasi dagang dan industri, kelompok-kelompok profesional, organisasi keagamaan, partai politik dan koperasi.
Dari penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa konsep desentralisasi didekati dalam jangkauan aktivitas dan ide yang luas. Oleh karena itu bagi Maddick sebagaimana dikutip oleh Turner yang penting adalah adanya evolusi sistem pemerintahan.
5. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
1. UU No. 1 Tahun 1945
Ditetapkannya Undang-Undang ini merupakan hasil dari berbagai pertimbangan tentang sejarah Pemerintahan dimana Kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. UU ini menekankan pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. UU ini ditetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu keresidenan kabupaten dan kota.
2. UU No. 22 Tahun 1948
Undang-Undang ini berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Ditetapkan 2 9dua) jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan daeran otonom yaitu propinsi, kabupaten/kota besa & desa/kota kecil. Penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah.
3. UU No. 1 Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seluruh Indonesia)
4. UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya).
5. UU No. 5 Tahun 1974
6. UU No. 22 Tahun 1999
Pada masa itu rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak berkehendak untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, sidang istimewa MPR Tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keungan pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
7. UU No. 25 Tahun 1999
Undang-undang ini setelah tuntutan reformasi dikumandangkan.
6. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UU No. 22 Tahun 1999
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan :
1) Demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
2) Berdasarkan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab
3) Otonomi daerah yang luas nyata, dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota.
4) Sesuai dengan konstitusi negara.
5) Kemandirian daerah otonomi.
6) Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
7) Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi sebagai wilayah administrasi.
 Asas tugas pembantu.
7. Pembagian Kekuasaan Antara Pusat dan Daerah Dalam UU No. 22 Tahun 1999
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang ditangani pusat hampir sama dengan yang ditangai oleh pemerintah dinegara federal, yaitu hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama serta berbagai jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi pemerintahan, badan usaha milik negara dan pengembangan sumber daya manusia.
Kewenangan propinsi sebagai daerah administrasi mencakup :
1) Kewenangan bersifat lintas kabupaten dan kota
2)Kewenangan pemerintahan lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro.
3) Kewenangan kelautan
4) Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan kota.
Kewenangan pemerintah kabupaten dan kota sebagai daerah otonomi :
1. Pertahanan,
2. Pertanian,
3. Pendidikan dan kebudayaan,
4. Tenaga kerja,
5. Kesehatan,
6. Lingkungan hidup,
7. Pekerjaan umum,
8. Perhubungan,
9. Perdagangan dan industri,
10. Penanaman modal, dan
11. Koperasi.
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi kabupaten dan daerah otonomi kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran :
1. Makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau pelayanan publik tersebut.
2. Penyerahan 11 jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas didaerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas dan melakukan inovasi.
3. Karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata.
4. Pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya dipikulkan kepada pemerintah pusat semata.
8. Otonomi Daerah dan Demokratisasi
Eksistensi kebijakan otonomi daerah kiranya sangat penting dipahami sebagai bagian dari agenda demikratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh dipandang sebagai a final destination melainkan lebih sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Mawhood merumuskan tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah sebagai uapaya untuk mewujudkan political equality, local accountability dan local responsiveness.
Prasyarat yang harus untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintahan daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal teritorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui pemilu (local leader executive by election).
Keterkaitan otonomi daerah dengan demokratisasi pernah diungkapkan oleh Muhammad Hatta, proklamator RI dalam suatu kesempatan.
Memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, bertindak sendiri, melaksanakan sendiri apa yang dianggap penting bagi lingkungan sendiri. Dengan berkembangnya auto-aktiviet tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaikai nasibnya sendiri.
Konsekuensi otonomi daerah dengan demokratisasi :
1) Otonomi daerah harus dipandang keutuhan sebagai instrumen desentralisasi dalam rangka mempertahankan keutuhan serta keberagaman bangsa.
2) Otonomi daerah harus didefinisikan sebagai otonomi pemerintahan daerah (pemda), juga bukan otonomi bagi “daerah”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Otonomi daerah merupakan kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
- Desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
- Arti penting otonomi daerah :
1) Untuk terciptanya efisien – efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2) Sebagai sarana pendidikan politik
3) Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4) Stabilitas politik
5) Kesetaraan politik
6) Akuntabilitas publik.
- Model desentralisasi :
1) Dekonsentrasi
2) Delegasi
3) Devolusi
4) Privatisasi
- Sejarah otonomi daerah di Indonesia tercantum dalam :
1) Uu No. 1 Tahun 1945
2) UU No. 22 Tahun 1948
3) UU No. 1 Tahun 1957
4) UU No. 18 Tahun 1965
5) UU No. 5 Tahun 1975
6) UU No. 22 Tahun 1999
7) UU No. 25 Tahun 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar